Minggu, 19 Juni 2011

Ketika Umar Hendak Mencium Batu

Terkadang tidak semua persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan ini bisa kita pikirkan dan kita pahami, bahkan persoalan itu bisa nampak begitu rumit untuk hal yang sangat sepele sekalipun. Urusan bola saja di negeri ini bisa jadi masalah besar yang tidak bisa diselesaikan bangsa ini sendiri, perlu ‘intervensi’ dan keputusan pihak asing untuk menyelesaikannya. Lantas bisa kita bayangkan untuk urusan-urusan lain yang lebih besar dari bola, siapakah yang meng-‘intervensi’ dan mengambil keputusannya? benar adakah ‘invisible hand’ yang (berusaha) mengatur sendi-sendi kehidupan kita?
‘Campur tangan asing’ ini sebenarnya nampak begitu jelas dari kehidupan kita sehari-hari. Ketika di pagi hari kita sarapan mie yang dibuat dari terigu yang 100% bahannya nya impor misalnya –ini karena kita telah menjadi korban ‘invisible hands’ pemasaran produk hasil pertanian global– yang menggarap kita secara sistematis sejak empat dasawarsa lalu.
Seperti jin yang keberadaannya kita yakini dengan pasti meskipun kita tidak melihatnya, maka ‘invisible hands’ dibidang pemasaran produk-produk dari kapitalisme global tersebut terus bergentayangan mencari mangsa di pasar yang begitu besar-240 juta penduduk negeri ini.
Hasil survey sebuah perusahaan market research internasional yang menggarap negeri ini beberapa tahun lalu meng-confirm hal tersebut di atas. Survey ini antara lain mengungkapkan fakta bahwa pasar-pasar modern di Indonesia mengalami pertumbuhan diatas 30 % per tahun, sementara pasar-pasar tradisionil mengalami penurunan sekitar 8 % per tahun. Bahkan menurut Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), data beberapa tahun lalu pula menunjukkan bahwa setiap tahun di DKI ada 8 pasar tradisional dan 400-an kios yang tutup karena tidak mampu bersaing dengan pertumbuhan berbagai bentuk pasar modern.
Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk memutar balik trend yang tidak berpihak kepada masyarakat luas tersebut? kekuatan apa yang bisa melawannya dengan meaningful?Untuk mulai serius memikirkan hal ini, Dompet Dhuafa pekan depan mengundang saya untuk ikut berbicara di forum diskusi advokasinya dengan tema “Menyoal Perlindungan Usaha Pedagang Kecil”. Apa yang akan saya sampaikan di forum tersebut adalah pemikiran-pemikiran yang sudah saya tulis di situs ini.
Dahulu ketika saya mengambil mata kuliah Enginering Design, ada filosofi tentang design yang menurut saya sangat pas untuk diterapkan dalam ‘mendesign’ solusi bagi perbagai persoalan kehidupan bangsa ini. Filosofi tersebut kurang lebih setelah saya re-frase begini “mencari solusi yang sederhana untuk masalah-masalah yang rumit akan jauh lebih efektif daripada mencari solusi yang rumit untuk masalah yang sederhana”.
Contoh penyelesaian persoalan sepak bola nasional diawal tulisan ini yang sampai melibatkan FIFA untuk menengahinya –menurut saya adalah contoh kedua dari filosofi tersebut– yaitu mencari “solusi yang rumit untuk masalah yang sederhana”.
Sebaliknya menghadirkan solusi-solusi yang ada tuntunannya secara syar’i untuk berbagai persoalan kehidupan kita yang rumit-rumit adalah masuk kategori solusi yang pertama yaitu “solusi yang sederhana untuk masalah-masalah yang rumit”. Mengapa sederhana? karena sudah dijanjikan ke kita bahwa kita tidak akan tersesat selamanya selama kita berpegang pada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Mengatasi persolan yang rumit akan menjadi mudah bila kita merujuk pada ‘contoh soal’ yang telah diselesaikan oleh suri tauladan kita, contoh yang indah untuk ini adalah apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika hendak mencium batu hajar aswat. Dia tahu bahwa hajar aswat adalah batu yang tidak akan dapat mendatangkan mudharat ataupun manfaat–tetapi dia cium pula, mengapa? Sederhana saja alasannya yaitu karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam melakukannya.
"Sesungguhnya aku tahu kamu hanyalah batu, yang tidak bisa mendatangkan bahaya dan tidak juga manfaat, akan tetapi karena aku melihat Abul Qasim Shallallahu 'Alaihi Wasallam mencium mu secara hati hati." (Musnad Ahmad, 263)
Maka untuk persoalan bangsa yang rumit seperti contoh terus merangseknya kekuatan para pemasar global menguasai segala sendi kebutuhan kehidupan kita yang saya uraikan dalam permasalahan pasar tersebut diatas, apa solusi kita? Sederhana saja mengambil contoh yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam–ya membuat pasar untuk umat ini sendiri.
Apakah ini akan cukup untuk melawan kekuatan-kekuatan raksasa yang sudah beberapa dasawarsa menggarap dan menguasai pasar kita? Wa Allahu A’lam, saya juga tidak tahu apakah ini cukup atau tidak –memberi manfaat atau bahkan mudharat– tetapi saya bersikap seperti Umar ketika hendak mencium batu tersebut diatas –yaitu karena Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wassalam melakukannya, insya Allah tidak akan salah bila kita juga melakukannya. Masalah hasil sejauh mana nantinya pasar ini bisa berkembang, itu sudah bukan kapling kita –biarlah Allah yang menentukannya.
Alhamdulillah sejak ide Pasar Madinah pertama kali kita gagas sekitar 7 bulan lalu , kemudian karena benturan kapital, perizinan dlsb. ide tersebut sementara kita scale down menjadi Bazaar Madinah sekitar dua bulan lalu, kini ide-ide tersebut hampir rampung kita selesaikan persiapan fisiknya. Gambar di bawah adalah foto terbaru yang saya ambil sendiri di Bazaar Madinah kemarin 07/04/11.

Insyaallah hari Sabtu tanggal 16/04/2011 sekitar 50-an para calon pedagang di bazaar ini sudah dapat kami undang untuk hadir pada acara pre operation briefing, untuk siap jualan insyaallah 1 Mei 2011 bila tidak ada kendala perijinan dlsb. (mi/an)
http://www.eramuslim.com/syariah/ekonomi-syariah/ketika-umar-hendak-mencium-batu.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar