Islam dan Perkembangan Pemikiran Ekonomi
Kontribusi kaum Muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan barat. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, tapi barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Berkaitan dengan hal itu, M. Nejatullah Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga fase, yaitu fase-fase dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnansi. Penjelasan fase-fase pemikiran ekonomi Islam adalah sebagai berikut :
1. Fase Pertama (fase abad awal – 11 masehi)
Fase ini dirintis oleh para fuqaha, diikuti sufi dan kemudian para filsuf. Para tokoh pemikir Islam pada masa ini adalah :
a. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
- Menurutnya penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antara kedua belah pihak
- Kasus yang biasa terjadi adalah pembelian barang secara kredit atau transaksi yang pembayarannya ditangguhkan. Dalam kasus ini harga yang lebih tinggi ditentukan penjual (jika pembeli menangguhkan pembayaran dengan mencicil) adalah sebagai kompensasi kepada penjual karena memberikan kemudahan kepada pembeli dalam melakukan pembayaran
b. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
- Pada masa hidupnya, masyarakat sekitar banyak yang melakukan transaksi salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati. Abu Hanifah orang yang meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia lalu berusaha menghilangakan ketidakjelasan dalam akad salam denagan diharuskannya merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti jenis komoditi, mutu, dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman.
c. Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
- Hal yang paling dikenal dari Abu Yusuf tentang pemikirannya mengenai masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga, argumennya di dasarkan pada sunah Rosul. Abu Yusuf menyatakan hasil panen yang melimpah bukan alas an untuk menurunkan harga panen, dan sebaliknya kelangakaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil observasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang rendah. Namun, disisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak peranan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
d. Muhammad bin Al Hasan Al Syaibani (132-189 H/ 750-804 M)
Pandangan Al Syaibani mengenai ekenomi cenderung memperhatikan perilaku ekonomi seorang Muslim sebagai individu. Dalam risalahnya berjudul al-ikhtisab fi ar-rizq al-mustahab banyak membahas mengenai pendapatan dan belanja rumah tangga. Dia juga membagi jenis pekerjaan ke dalam 4 hal, yaitu ijaroh (sewa-menyewa), tijaroh (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah (industri)
e. Ibnu Miskawih (w.421 H/1030M)
Salah satu pandangannya yang terkenal adalah mengenai pertukaran dan pertukaran uang. Untuk memenuhi kebutuhan, manusia harus bekerjasama dan saling membantu sesama. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompesansi yang pantas.
2. Fase Kedua (abad 11-15 masehi)
Para pemikir ekonomi Islam pada saat ini adalah :
a. Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Fokus utama Al Ghazali tertuju pada perilaku individual yang dibahas secara rinci dengan menunjuk pada Al Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat dan Tabi’in, serta pandangan sufi. Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam kerangka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah. Ia juga mengemukakan alasan pelarangan riba fadhl, yakni karena melanggar sifat dan fungsi uang serta mengutuk mereka yang melakukan penimbunan uang dengan dasar uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan pertukaran.
b. Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M)
Fokus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi moral, dan bagaimana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syariah. Secara umum, pandangan-pandangan ekonomi Ibnu Taimiyah cenderung bersifat normatif. Namun demikian, terdapat beberapa wawasan ekonominya yang dapat dikategordan ikan sebagai pandangan ekonomi positif. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyadari sepenuhnya permintaan dan penawaran dalam menentukan harga. Ia juga mencatat pengaruh dari pajak tidak langsung dan bagaimana beban pajak tersebut digeserkan dari penjual yang seharusnya menanggung pajak kepada pembeli yang harus membayar lebih mahal untuk barang-barang yang terkena pajak.
c. Al Maqrizi (845 H/1441 M)
Al Maqrizi melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Menurut Al Maqrizi, kelangkaan pangan selain disebabkan karena sebab alami oleh kegagalan hujan juga disebabkan hal lain. Al Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang berat terhadap penggarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus.
3. Fase Ketiga (1446-1932 masehi)
Fase ini merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad yang mengakibatkan fase ini dikenal juga fase stagnansi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase ini antara lain diwakili oleh Shah Wali Allah (w. 1176 H), Jamaluddin Al Afghani (w. 1315 H), Muhammad Abduh (w. 1320 H), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar